Rabu, 12 Januari 2011

ARTIKEL ANTARA PENDIDIKAN GRATIS

ANTARA PENDIDIKAN GRATIS
DAN
UNDANG-UNDANG BHP 


Disusun oleh:

Nama            : Iswanto.Hamdah
NIM             : 100 11 44 363

UNIVERSITAS COKROAMINOTO PALOPO
TAHUN 2010
TUGAS INDIVIDU


          Nama            : Iswanto.hamdah
NIM               : 100 44 11 363
Mata kuliah    : Bahasa Indonesia.
Nama dosen   : Kartini Mustika Spd, Mpd.


Abstrak:
Dalam UUD 1945 tanggung jawab pendidikan bangsa, terutama pendidikan dasar (SD dan SMP) adalah menjadi tanggungjawab pemerintah. Pendidikan merupakan kebutuhan primer dan mempunyai peran yang sangat strategis bagi manusia dalam mempertahankan kehidupannya. Untuk menyelenggarakan perubahan perlu disadari permasalahan yang dihadapi pendidikan nasional saat ini. masalah pemerataan pendidikan (equty), dan kualitas pendidikan (quality).  Pendidikan gratis ternyata menjadi komoditi politik dalam berbagai suksesi kepala daerah di Indonesia. Dari beberapa Peraturan Pemerintah yang telah dikeluarkan, di antaranya ada dua peraturan yang sangat relevan dengan subsidi pendidikan, yaitu; PP tentang pendidikan formal dan nonformal serta PP tentang pendanaan pendidikan. Karena UU Sisdiknas merekomendasikan adanya Undang-Undang tentang sistem Badan Hukum Pendidikan (BHP).

Kata kunci
Pemerintah, pendidikan gratis, UUD 1945, udang-undang BHP.

         




Dalam UUD 1945 tanggung jawab pendidikan bangsa, terutama pendidikan dasar (SD dan SMP) adalah menjadi tanggungjawab pemerintah. Hal ini terutama dijelaskan pemerintah dalam pasal ’31 ayat (2) bahwa “setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya”. Isu kritis muncul dalam pembahasan ini adalah bagaimana komitmen pemerintah menyikapi amanat konstitusi ini, padahal kita tahu bahwa pendidikan dasar belum dinikmati oleh seluruh lapisan masyarakat, dan biaya pendidikannya sampai saat ini  sebagian masih ditanggung masyarakat sendiri. Artinya, pendidikan dasar 9 tahun masih belum benar-benar gratis, bahkan masih terkesan tetap mahal bagi kalangan orang miskin.

Pemikiran tentang reformasi pendidikan didasarkan pada penilaian atas kegagalan pendidikan nasional pada masa Orde Baru. Upaya Orde Baru meningkatkan kualitas dan efektivitas pendidikan tentu dilandasi niat baik dan membawa hasil yang spektakuler jika dibanding dengan orde sebelumnya, tetapi kita tidak bisa mendasarkan pada maksud baik semata. Catatan tentang kegagalan yang mengecewakanpun perlu diungkap secara adil yang meliputi:
1) Kegagalan memberikan pendidikan secara merata kepada anak usia sekolah, yang dikenal dengan wajib belajar (wajar 9 tahun);
2) Kegagalan hasil pendidikan membangun kepribadian yang mantap dan bertanggung jawab pada masyarakat dan bangsa, karena tidak mampu memcahkan masalah, lemah berkomunikasi dan dalam bekerja sama;
3) Konflik yang tak terselesaikan tentang kurikulum sebagai alat perubahan; 4) keterbatasan jumlah anggaran pendidikan dalam APBN;
5) Politisasi lembaga pendidikan dikaitkan dengan pemeliharaan dukungan terhadap rezim Orde Baru oleh birokrasi pendidikan, dan sebagainya.
            Reformasi pendidikan sebagai kesempatan yang terbuka setelah tumbangnya rezim Orde Baru dan berfokus pada: 1) Usaha-usaha meningkatkan Anggaran Pendidikan dalam APBN 2001; 2) Perubahan jumlah mata pelajaran di SD, SLTP, dan SMU; 3) Perubahan paradigma pendidikan dari mengajar ke belajar; 3) Perubahan atau perumusan falsafah pendidikan dalam cara pandang atau memposisikan murid sebagai warga belajar yang bermartabat; dan 4) Perubahan atau perumusan fungsi pendidikan untuk mengembangkan potensi kemanusiaan warga belajar untuk menghadapi masa depan yang komplek dan dinamis (berubah).
Perubahan sikap akademisi dan birokrasi yang didukung oleh masyarakat terutama pelaku pendidikan untuk merumuskan gagasan reformasi pendidikan, menyebabkan lahirnya gerak aktif, kreatif, mandiri dan berfikir problem solving baik dalam artificial maupun konsepsional.
            Untuk melakukan reformasi pendidikan tentu tidak semudah membalikan telapak tangan. Formulasi fakta yang menjadi fokus usaha tersebut harus dilihat kaitan dan pengaruhnya pada perilaku kelembagaan, mulai dari manajemen, subyek pendidikan (baik pendidikan maupun peserta didik) sarana dan lingkungan pendidikan serta segala sesuatu yang terkait dengan ketatalaksanaan pendidikan, disinilah perlunya anggaran pendidikan yang memadahi.
            Akibat dari kecilnya anggaran pendidikan salah satu pengaruhnya adalah gagalnya arus murid dalam penyelenggaraan wajib belajar. Wajib belajar adalah upaya melaksanakan UUD pasal 31 bahwa “tiap-tiap warga negara berhak mendapat pengajaran”. Dari pasal ini pemerintah memiliki dua mandat dari UUD 1945 yaitu: aspek kualitatif “mencerdaskan bangsa” dan aspek kuantitatif “tiap warga negara berhak mendapat pengajaran”. Depdiknas sebagai aktor utama dalam pelaksanaan pendidikan, dianggap berhasil apabila 29 juta anak mendapat pendidikan SLTP. Tetapi angka BPS 2005 menunjukkan bahwa 15 juta anak usia sekolah drop-out pada jenjang SD kelas 3, dan 7 juta drop-out SD kelas 4-6.
            Keadaan ini tentu menghawatirkan untuk masa depan bangsa. Dan penyebab utama dari keadaan ini adalah kemiskinan orang tua. Alasan yang paling popular diucapkan anak jalanan dan orang tua adalah “tidak mempunyai biaya”, yang meliputi iuran SPP atau DP3 uang seragam dan uang beli buku. Penyebab terbesar yang kedua adalah suasana sekolah yang tidak mendorong belajar dengan rasa senang. Anak yang kembali ke sekolah selesai membantu orang tua mendapatkan dirinya ketinggalan pelajaran. Guru yang tradisional, memperlakukan murid yang tertinggal dengan menghukum. Dampaknya, seringkali semangat siswa tidak bertambah lebih baik, mereka justru senang kembali  membantu orangtua atau bermain. Perasaan “takut sekolah” yang diderita anak didukung oleh sikap pembenaran dari orang tua -yang menganggap sekolah cukup asal bisa baca tulis justru menjadi faktor ketiga untuk menambah penyebab utama terjadinya kemiskinan pendidikan.
            Di tengah carut marutnya dunia pendidikan tersebut, issue “pendidikan gratis” ternyata menjadi komoditi politik dalam berbagai suksesi kepala daerah di Indonesia. Jargon politik tersebut menurut Utomo Dananjaya, tampaknya cukup ampuh untuk dijadikan sebagai daya pikat bagi segelintir orang yang berkepintingan untuk mendapat dukungan publik yang memang mayoritas membutuhkan kebijakan tersebut. Seberapa perlukah negeri ini memberlakukan kebijakan ini? Adalah merupakan persoalan yang menarik untuk dikaji.

A. Rasionalisasi
Pendidikan merupakan kebutuhan primer dan mempunyai peran yang sangat strategis bagi manusia dalam mempertahankan kehidupannya, hanya manusia berpendidikanlah yang mampu melakukan adaptasi terhadap berbagai bentuk perubahan yang senantiasa terjadi setiap saat. Oleh sebab itu, jika terjadi depresiasi terhadap kebutuhan pendidikan, maka sendi-sendi kehidupan umat manusia secara global akan mengalami instabilitas yang secara pasti berpengaruh pula terhadap kebutuhan manusia yang lainnya.
Pendidikan dalam kaitan ini dilakukan manusia sejak manusia berada dalam usia yang sangat dini (dalam kandungan sang ibu). Kemudian terus berproses sampai ia mencapai usia dewasa. Proses pendidikan ini bahkan berlangsung tanpa dibatasi usia, kata Jhon Dewey disebut sebagai long life education. Pada prinsipnya bahwa pendidikan merupakan proses yang berkelanjutan dan tidak mengenal titik akhir, ini artinya bahwa berakhirnya pendidikan berarti berakhir pula kehidupan. Tetapi, jika proses pendidikan tidak berjalan dengan baik, yang terjadi adalah pengingkaran terhadap hakikat hidup manusia itu sendiri. Oleh sebab itu, upaya untuk memperlancar proses pendidikan merupakan kewajiban, bukan saja menjadi kewajiban bagi pemerintah, melainkan juga bagi semua masyarakat dan bangsa Indonesia. Hal ini sesuai dengan UUD ’45 pasal 31 ayat (1) yang berbunyi: “tiap-tiap warga negara berhak mendapatkan pengajaran,” dan pasal 5 ayat (1) UU No. 20 tahun 2003 tentang SISDIKNAS menegaskan bahwa ”setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu, bahkan pada pasal 6 ayat (1) dinyatakan bahwa setiap warga negara yang berusia tujuh tahun sampai lima belas tahun wajib mengikuti pendidikan dasar.”
Pertanyaan yang perlu disampaikan di sini adalah tanggung jawab siapa pendidikan itu? Jawabannya adalah seperti yang dijelaskan dalam GBHN bahwa pendidikan berlangsung seumur hidup dan dilaksanakan dalam lingkungan rumah tangga, sekolah, dan masyarakat. Oleh sebab itu, “pendidikan adalah tanggung jawab kita bersama, tanggung jawab seluruh bangsa Indonesia.” Namun dalam kontek UUD 1945 nampaknya tanggungjawab pendidikan bangsa, terutama pendidikan dasar (SD dan SMP) adalah menjadi tanggungjawab pemerintah. Hal ini terutama dijelaskan pemerintah dalam pasal ’31 ayat (2) bahwa “setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya”. Isu kritis muncul dalam pembahasan ini adalah bagaimana komitmen pemerintah menyikapi amanat konstitusi ini, padahal kita tahu bahwa pendidikan dasar belum dinikmati oleh seluruh lapisan masyarakat, dan biaya pendidikannya sampai saat ini (walaupun ada dana BOS) sebagian masih ditanggung masyarakat sendiri. Artinya, pendidikan dasar 9 tahun masih belum benar-benar gratis, bahkan masih terkesan tetap mahal bagi kalangan orang miskin.
Di Amerika Serikat gerakan wajib belajar  yang dilancarkan pada pertengahan abad XX telah mengalami sukses besar dalam rangka mengentaskan kemiskinan dalam mengejar ketinggalan dari negara-negara maju di Eropa, seperti Inggris, Jerman, dan Perancis. Pada saat yang sama dikatakan bahwa sekitar tiga juta orang telah terdaftar sebagai mahasiswa. Jadi, diperkirakan 44 juta orang atau seperempat total jumlah penduduk Amerika sedang mengenyam pendidikan di sekolah. Dalam situasi maraknya gerakan wajib belajar ini, justru Amerika mampu menekan angka kemiskinan yang fantastik. Padahal pada tahun 1962, sekitar 38 juta penduduk Amerika atau sekitar 21 persennya berada dibawah garis kemiskinan. Sebaliknya, mari kita lihat di negara kita yang sedang menggalakkan gerakan Wajib Belajar  pendidikan dasar 9 tahun sejak tahun 1990, apakah gerakan dimaksud telah berhasil, sehingga mampu menekan angka putus sekolah, kemiskinan, pengangguran dan bahkan mampu meningkatkan income perkapita bangsa Indonesia? Di Amerika, ketika masyarakat sedang demam sekolah, justru income perkapita negara itu menaik. Jadi, tidak ada contoh gerakan wajib belajar, karena mungkin dianggap oleh sebagian kalangan akan menghabiskan uang negara, yang menyebabkan negara jadi bangkrut.

B. Problematika Pendidikan Nasional
            Untuk menyelenggarakan perubahan perlu disadari permasalahan yang dihadapi pendidikan nasional saat ini. Di samping itu dalam menilai dan mengemukakan gagasan perlu mengendalikan diri bahwa upaya meningkatkan kualitas telah selalu diusahakan oleh para pengelola dan penanngungjawab pendidikan sebelumnya. Inilah yang kami sebut sebagai maksud baik atau “political will” dari penanggungjawab pendidikan. Tetapi dipusat kekuasaan dimana rencana pembangunan dikonsep dan anggaran dialokasikan, pendidikan dianggap penting sebagai “human investmen” untuk mengembangkan potensi sumber daya manusia yang mampu melindungi segenap bangsa Indonesia, memajukan kesejahteraan rakyat, mencerdaskan bangsa dan ikut  melaksanakan ketertiban manusia. Namun sampai ini ide besar tersebut belum menjadi program prioritas.
Dalam rangka mendukung pelaksanaan prioritas pembangunan nasional dalam bidang pendidikan di Indonesia menghadapi tiga tantangan besar. Tantangan pertama, sebagai akibat dari krisis ekonomi, dunia pendidikan dituntut untuk dapat mempertahankan hasil-hasil pembangunan pendidikan yang telah dicapai. Kedua,untuk mengantisipasi era global, dunia pendidikan ditutuntut untuk mempersiapkan sumber daya manusia yang kompoten agar mampu bersaing dalam pasar kerja global. Ketiga, sejalan dengan dilakukannya otonomi daerah, perlu dilakukan perubahan dan penyesesuaian sistem pendidikan nasional sehingga dapat mewujudkan proses pendidikan yang lebih demokratis, memperhatikan keberagaman kebutuhan/keadaan daerah peserta didik, sedang mendorong peningkatan partisipasi masyarakat.
Disamping itu, persoalan lain yang menonjol dalam pendidikan nasional kita meliputi; masih rendahnya kesempatan memperoleh pendidikan, masih rendahnya kualitas dan relevensi pendidikan, dan masih lemahnya managemen pendidikan, disamping itu masih belum terwujudnya kemandirian dan keunggulan ilmu pengetahuan dan teknologi di kalangan akademis. Ketimpangan pemerataan pendidikan juga terjadi  antar wilayah geografis, yaitu antara perkotaan dan pedesaan, serta antara kawasan timur Indonesia dan kawasan barat Indonesia, dan antar tingkat pendapatan penduduk ataupun antar gender.
 Reformasi pendidikan yang sedang dijalankan di Indonesia menurut Bukhori, sebenarnya mengacu pada keinginan untuk melakukan perubahan-perubahan yang dapat menimbulkan kawasan professional, semangat patriotisme kepada sistem pendidikan, membuat sistem pendidikan memahami proses sosio-kultural yang terjadi dalam masyarakat, dan menyehatkan sistem pendidikan dari kungkungan dan kepentingan birokrasi. Benih-benih reformasi yang muncul atas dukungan masyarakat banyak, antara lain mengikuti keinginan agar biaya sekolah digratiskan. harus diadakan perubahan kurikulum pendidikan secara total supaya menghasilkan lulusan yang berkualitas dan marketable, dan persoalan evaluasi yang hanya berorientasi pada pengukuran intelektual semata.
Dari benih-benih reformasi yang muncul dari keinginan masyarakat ini lanjut Buchori, mengisyaratkan bahwa kebijakan-kebijakan pemerintah tentang pendidikan selama ini tidak berorientasi pada kebutuhan pasar dan kemauan zaman. Itulah sebabnya, jika sistem pendidikan kita mau maju, maka perlu adanya perubahan-perubahan yang memihak pada kepentingan masyarakat banyak dan mengacu pada reformasi yang mampu mengembalikan otonomi pedadogis kepada sekolah dan guru.
 Dalam persepsi pakar pendidikan yang lain, Soedijarto menyoroti tentang rendahnya kualitas manusia Indonesia dari berbagai segi; segi kemampuan teknis, keampuan professional, kemampuan intelektual (termasuk penguasaan iptek), etos kerja, disiplin, moral, dan kepribadian sebagai manusia modern yang demokratis pada abad 21 masih jauh dari memadai. Hal ini dapat terjadi karena penyelenggaraan pendidikan nasional, baik dari segi manajemen, pembiayaan, proses pembiyaan, sistem evaluasi, seleksi dan promosi, maupun dari segi materi pendidikan yang merupakan ciri esensial suatu sistem pendidikan  yang relevan dengan konstitusional  belum terwujud.

C. Perlunya Kebijakan Sekolah Gratis
Jika dicermati semua persoalan yang muncul dalam bidang pendidikan di negara kita seperti terurai di atas, dapat dibatasi pada dua persolan pokok; yakni masalah pemerataan pendidikan (equty), dan kualitas pendidikan (quality). Pemerataan pendidkan berarti menyangkut persoalan tingkat partisipasi masyarakat untuk mengikuti pendidikan mulai dari tingkat dasar sampai perguruan tinggi.  Sedangkan kualitas pendidikan berarti mengacu pada bagaimana semua aspek pendidikan ini dapat berfungsi dengan sebaik-baiknya, mulai dari pelayanan pendidikan, tenaga pengajarnya (guru), kurikulum, fasilitas pendukung, (sarana-prasarananya), sampai pada penerimaan pasar terhadap sumber daya manusia sebagai produk pendidikan (out-pout).
Menurut hemat penulis, karena Indonesia adalah negara dimana kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan keadilan sosial seperti yang disebutkan pada pembukaan UUD’45, sebagai tujuan pembangunan nasional, maka langkah awal yang harus dipikirkan oleh pemerintah adalah bagaimana tingkat partisipasi masyarakat dalam bidang pendidikan ini, terutama pendidikan dasar, dapat ditingkatkan dengan cara memberikan kebijakan gratis bagi seluruh warga bangsa. Kebijakan sekolah gratis ini dituangkan dalam bentuk undang-undang dan benar-benar dapat dijalankan di lapangan dengan dukungan semua pihak. Meskipun selama ini program sekolah gratis ini sudah dijalankan di berbagai daerah, seperti di DKI Jakarta dan Kepulauan Riau, namun demikian belum ada laporan yang menyatakan bahwa pendidikan gratis ini sudah ditangani secara sungguh-sungguh dan merata di seluruh Indonesia. Oleh sebab itu, Aoer mengatakan bahwa “ide pendidikan dasar 9 tahun (6 tahun SD dan 3 tahun SMP) hanya indah diatas kertas, apalagi hanya berisi slogan janji untuk pendidikan gratis” pada saat kita kesulitan dana pembangunan, walaupun sudah meminjam dana dari negara asing.
 Dan banyak orang yang mengklaim bahwa pelaksanaan Wajib Belajar 9 tahun telah mengalami kegagalan, karena tidak ada political will pemerintah yang betul-betul mendukung program ini, terutama dari segi pendanaannya.
Di sisi lain perlu penulis luruskan bahwa sesungguhnya tidak ada pendidikan gratis, yang terjadi adalah biaya pendidikan ditanggung oleh pemerintah atau pihak lain. Sebab, dampak mencuatnya issue pendidikan gratis telah menciptakan apatisme masyarakat untuk memjukan dunia pendidikan. Masyarakat semakin apatis, cuek, kurang peduli, dan sebagainya. Issue pendidikan gratis dikembangkan pemerintah pada awal 2005 untuk mendukung kenaikan harga BBM. Asumsinya adalah harga BBM di Indonesia sangat rendah karena negara memberikan subsidi sangat besar (mencapai Rp 89 triliun/tahun). Bila harga BBM naik, maka subsidi yang besar itu dapat dialihkan untuk membiayai bidang pendiddikan dan kesehatan sehingga keduanya bisa gratis. Asumsi tersebut mudah diterima, terutama bila dasarnya hanya ekonomi semata. Artinya, termasuk kitapun dengan mudah menghitung pengeluaran dari yang semula untuk subsidi BBM kemudian dialihkan untuk subsidi pendidikan dan kesehatan dengan jumlah yang sama sehingga pendidikan dan kesehatan bisa gratis. Jadi, jelaslah bahwa pendidikan gratis berarti mengalihkan biaya pendidikan, khususnya biaya investasi dan operasional pendidikan ditanggung pemerintah melalui dana subsidi BBM.
Pidato kenegaraan yang dibacakan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada siding paripurna DPR/MPR RI 16 Agustus lalu kembali memberikan angin segar kepada pendidik. Dalam pidatonya, presiden kembali memberikan pehatian yang serius dalam peningkatan kualitas pendidikan di negeri ini. Alokasi anggaran pendidikan 20 % yang selama ini diperjuangkan oleh aktivis pendidikan maupun para guru akhirnya akan dituangkan dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) tahun 2009 setelah pada sidang uji Undang-Undang APBN Konstitusi pada 13 Agustus 2008, pemerintah diputuskan telah melanggar konstitusi karena hanya mengalokasikan 15,6 persen anggaran APBN 2008 untuk pendidikan.
Padahal dalam UU Sisdiknas No. 20 Tahun 2003, pasal 49 ayat (1) disebutkan bahwa pemerintah wajib mengalokasikan 20 persen anggaran APBN untuk sektor pendidikan. Oleh karena itu, dalam RAPBN 2009, pemerintah mengalokasikan anggaran pendidikan sebesar 20 % dengan menambah anggaran Rp 46,1 triliyun, ini berarti dari 1022,6 triliyun RAPBN 2009, sekitar Rp 224 triliyun akan dialokasikan untuk anggaran pendidikan. Dari alokasi Rp. 224 triliyun itu, Rp 23,56 triliyun akan dialokasikan untuk kesejahteraan guru. Menurut kalangan pemerintah, bahwa kenaikan harga BBM pasti berdampak pada pendidikan. Hal ini karena pembiayaan yang terbilang besar pada pendidikan dasar selain buku ialah transportasi.
Penyediaan subsidi pendidikan bagi kaum miskin tidak hanya cukup dengan komitmen. Undang;undang dasar 1945 maupun UU No. 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional (sisdiknas) sudah sangat kuat menjamin ketersediaan anggaran pendidikan bagi kalangan tidak mampu. Ini berangkat dari itikad bahwa semua anak usia didik harus menikmati layanan pendidikan. Guna menjamin keberlangsungan layanan pendidikan bagi semua lapisan sosial, negara dan pemerintah perlu mengatur secara tegas subsidi pendidikan bagi kalangan tidak  mampu. Karena terbatasnya anggaran negara, banyak yang menyarankan agar model subsidi silang hendaklah tertuang dalam peraturan pemerintah (PP) atau keputusan menteri. Hal ini berdasarkan fenomena makin mahalnya biaya pendidikan yang sulit dijangkau oleh kalangan menengah ke bawah. Bahkan ada yang mengusulkan agar draf PP dan UU sistem pendidikan nasional perlu mengakomodir model subsidi silang ini.
Dari beberapa Peraturan Pemerintah yang telah dikeluarkan, di antaranya ada dua peraturan yang sangat relevan dengan subsidi pendidikan, yaitu; PP tentang pendidikan formal dan nonformal serta PP tentang pendanaan pendidikan. PP tentang pendidikan formal dan nonformal berdimensi luas karena mencakup semua jenis dan jenjang pendidikan. PP tentang pendanaan pendidikan juga tak kalah relevannya karena pembahasannya lebih teknis soal biaya.
Pada intinya, PP tersebut sudah saatnya melahirkan mekanisme agar orang yang berlebihan mensubsidi peserta didik dari kalangan tidak mampu. Dalam hal ini, manajemen persekolahan harus mengidentifikasi secara akurat kondisi ekonomi orang tua siswa-siswinya. Berdasarkan data kondisi ekonomi orang tua, dibuatlah prakiraan anggaran subsidi untuk siswa dari kalangan miskin. Dengan demikian, semangat pemberlakuan subsidi tersebut tidak sekedar komitmen lisan, tetapi benar-benar menjadi bagian dari persyaratan administrasi dari pengelolaan setiap sekolah.
Karena UU Sisdiknas merekomendasikan adanya Undang-Undang tentang sistem Badan Hukum Pendidikan (BHP), maka urusan subsidi hendaknya tercakup dalam UUD tersebut. Jadi usulan ini diungkapkan karena didasari sejumlah pertimbangan. Di antaranya, dengan status BHP, sekolah atau lembaga pendidikan formal harus diartikan sebagai institusi pelayanan publik. Di dalamnya tercakup prinsip pengelolaan keuangan yang mengedepankan akuntabilitas, efiensi, evektivitas, dan produktivitas. Sementara itu, ada beberapa kalangan lain yang mempunyai pendapat mengenai kebijakan pemerintah untuk dijadikan perlindungan hukum mengenai implementasi subsidi BBM. Misalnya, ada LSM bahwa UU Sisdiknas sebetulnya terlalu makro untuk mengatur urusan subsidi. Perlu ada paying yang lebih teknis dan mengatur urusan subsidi. Yang jelas, apapun kebijakan yang akan diambil pemerintah, sudah saatnya sekarang ini diambil keputusan untuk merelisasikan amanat amandemen pasal 31 ayat (2) dan ayat (4) UUD 1945 pasal (4) dan pasal 34 ayat (1 s/d 3) UU nomor 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan Nasional.
Jika subsidi pendidikan tidak diatur maka jumlah orang-orang yang tidak menikmati layanan pendidikan akan semakin banyak. Tidak menikmati layanan pendidikan berarti orang-orang bersangkutan tidak mempunyai kesempatan memperbaiki kualitas hidup dan strata sosialnya. Akibatnya, beban Negara yang sekarang sudah berat akan semakin berat lagi. Disamping itu, jika masalah pendidikan tidak terpenuhi maka biaya yang harus ditanggung negara dikemudian hari bakal berlipat ganda dibanding sekarang. Deretan permasalahan sosial, seperti kebodohan, pengangguran, kemiskinan dan kriminalitas, akan semakin panjang.



Penutup
Pendidikan merupakan kebutuhan sosial yang wajib dipenuhi, karena hanya dengan pendidikanlah anak bangsa akan mampu beradaptasi dengan perubahan zaman yang akan semakin mengglobal, SDM yang berkualitas yang menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi akan lahir jika pendidikan bangsa dibenahi kearah yang benar dengan menggunakan paradigma pengelolaan pendidikan modern. Sunami berupa krisis moneter dan krisis multidimensional yang terjadi sekitar lima tahun yang lalu, telah membawa dampak serius dalam bidang kehidupan, tidak terkecuali bidang pendidikan. Akibatnya, proses pencerdasan kehidupan bangsa mengalami hambatan yang cukup serius, khususnya upaya untuk mensukseskan wajib belajar 9 tahun yang bertujuan mengentaskan kemiskinan, keterbelakangan, dan kebodohan. Oleh sebab itu, amanat UU No. 20 tahun 2003 yang menyatakan bahwa setiap warga negara yang berusia 7 sampai dengan 15 tahun wajib mengikuti pendidikan dasar, tidak boleh ada dropout karena alasan biaya. Jika hal ini terjadi, pemerintah dinggap telah mengingkari amanat UU dan mengingkari tugas bangsa.
Pengalokasian sebesar 20 % APBN untuk anggaran pendidikan diharapkan dapat mengatasi berbagai problem krusial, antara lainPertama, memperluas pemerataan partisipasi masyarakat dalam pendidikan, karena sampai saat ini masih ada sekitar 1 juta anak usia SD belum mempunyai sekolah maupun guru tetap, dan 2,7 juta anak usia SMP yang sama sekali tidak mempunyai sekolah ataupun guru. Kedua, untuk meningkatkan kualitas pendidikan yang meliputi penataan manajemen, sarana prasarana pendidikan, pelatihan guru, kesejahteraan guru, buku, media pendidikan, dan sumber belajar lainnya yang terkait dengan teknologi informasi dan pendidikan.
Sisi lain, alokasi 20 % anggaran pendidikan pada APBN tahun 2009 dapat mempercepat realisasi pendidikan gratis. Selain itu, mata rantai birokrasi yang panjang sering kali berkonsekuensi kost yang besar, demikian halnya birokrasi di bidang pendidikan, sehingga demi efisiensi penggunaan dana pendidikan dipandang perlu untuk diperpendek. Pemerintah kiranya dapat menyalurkan biaya operasional pendidikan yang dapat diakses langsung oleh sekolah ke-bank-bank yang ditunjuk sesuai dengan alokasi masing-masing sekolah/madrasah, dengan demikian segala macam potongan yang selama ini menjadi hama anggaran pendidikan dapat dihindari.                    


DAFTAR PUSTAKA

Amandemen Undang-Undang Dasar 1945, Perubahan Pertama Kedua, ketiga dan  Keempat

Amandemen Undang-Undang Dasar 1945, Perubahan  Keempat disahkan tanggal 10 Agustus 2002
      
Aoer, Cryptianus, 2005, Masa Depan Pendidikan Nasional, Catatan Seorang  Wartawan Pendidikan Sejak 1994 (Jakarta: Centre for Poverty Studies).

Carnoy, Martin and Henty M. Levin, 1976, The Limits of Educational Reform, New  York: David McKay Company.

CSIS, Pendidikan Nasional; Reformasi atau Refolusi? Jurnal tahun XXIX/2000, N0.3.

Dananjaya, Utomo, 2005, Sekolah Gratis, Jakarta: Paramadina.

Ibsal, Umar, Kendari Ekspres, 24 September 2008.

Kompas, BBM Naik, Pendidikan Tidak Gratis, 25 Nopember 2005

Propenas Departemen Pendidikan Nasional, tahun 2000-2006 dan 2005-2009

Soedijarto, 2005, Pendidikan Nasional Dalam Sistem pendidikan Nasional untuk mencerdaskan Kehidupan Bangsa dan Memajukan Kebudayaan Nasional,        
Makalah, Bandung: UPI.

Tribun Timur, 10 September 2008
           
UU RI Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional

Tidak ada komentar:

Posting Komentar